Cerai Talak dan Cerai Gugat: Memahami Perbedaan, Hak, dan Tanggung Jawab

Dalam hukum Indonesia, perceraian bisa ditempuh dengan dua jalur: cerai talak dan cerai gugat, sesuai UU Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009). Bedanya sederhana: cerai talak diajukan suami, sedangkan cerai gugat diajukan istri. Pada cerai talak, perceraian resmi berlaku saat suami mengucapkan talak di depan sidang Pengadilan Agama. Sementara itu, pada cerai gugat, perceraian sah ketika putusan pengadilan sudah memiliki kekuatan hukum tetap.

Alasan perceraian beragam, tapi intinya sama: pasangan merasa tidak bisa lagi hidup nyaman bersama. Seperti kata ulama Syaikh Al-Shabuni, Islam memberikan jalan talak ketika rumah tangga benar-benar goyah dan nasihat tak lagi bermanfaat. Memaksakan pernikahan yang sudah hampa sama saja dengan menghukum salah satu pihak dalam “penjara” yang panjang—itu tidak adil. Karena itu, perceraian meski dibenci Allah, kadang memang jadi pilihan terakhir.

Al-Qur’an sendiri mengajarkan dua pilihan: bertahan dengan cara yang baik (imsakun bima’ruf) atau berpisah dengan cara yang baik (tasrihun bi ihsan). Jika memilih berpisah, perceraian harus dilakukan secara terhormat. Suami yang menalak istri wajib menunaikan hak-haknya: nafkah iddah (nafkah selama masa tunggu sekitar 90 hari) dan mut’ah (pemberian berupa uang atau barang sebagai penghargaan). Selain itu, masa depan anak harus dipikirkan dengan matang: pendidikan, kesehatan, hingga biaya hidup. Anak tidak ikut bercerai dari kedua orang tuanya.

Sayangnya, praktik di lapangan sering jauh dari ideal. Banyak suami enggan menunaikan kewajiban ini, bahkan berusaha menonjolkan “kesalahan” istri agar lepas dari tanggung jawab. Sebaliknya, ada pula istri yang memanfaatkan situasi untuk menuntut tuntutan berlebihan yang tidak sebanding dengan kemampuan suami.

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017 yang awalnya dibuat untuk melindungi perempuan yang lemah, kadang disalahgunakan. Ada perempuan yang secara ekonomi dan sosial lebih kuat dari suami, namun tetap menggunakan aturan “pro perempuan” ini untuk menekan suami. Karena itu, hakim dan aparat hukum dituntut bijak dan selektif agar keadilan sejati tercapai: entah pasangan memilih tetap bersama atau berpisah, keduanya harus melakukannya dengan cara yang bermartabat.