Apakah Rumah yang Dihadiahkan Suami kepada Istri Termasuk Harta Bersama?

Ilustrasi Hadiah rumah dari suami untuk istri. Foto: Dreamina AI
Pertanyaan:

Bu Lik saya pernah dihadiahi rumah oleh suaminya saat mereka masih menikah. Rumah tersebut diberikan secara cuma-cuma dan atas nama Bu Lik. Sekarang mereka sedang dalam proses perceraian. Apakah rumah itu tetap menjadi milik Bu Lik Saya, atau termasuk harta bersama?

Jawaban

Menurut Panji Pengacara Ponorogo, hal pertama yang harus diperiksa dalam kasus seperti ini adalah bentuk hibahnya — apakah sudah dibuat secara resmi melalui akta hibah notaris, atau hanya diberikan secara lisan tanpa dokumen hukum.

Jika rumah tersebut dihibahkan dengan akta notaris, maka secara hukum rumah itu telah sah berpindah kepemilikan kepada istri. Dengan demikian, suami tidak dapat menuntut atau menarik kembali hibah tersebut. Namun, apabila hibah hanya berupa janji atau pemberian secara lisan, maka statusnya bisa diperdebatkan di pengadilan, karena tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup.

Dasar Hukum Hibah Menurut KUH Perdata

Dalam Pasal 1666 KUH Perdata, disebutkan bahwa hibah adalah pemberian cuma-cuma yang tidak dapat ditarik kembali selama pemberinya masih hidup. Selanjutnya, Pasal 1682 KUH Perdata mengatur bahwa hibah atas benda tidak bergerak (termasuk rumah) harus dibuat dalam akta notaris agar sah di mata hukum.

Karena itu, bila akta hibah sudah ada, maka rumah tersebut bukan lagi bagian dari harta bersama, tetapi sudah menjadi milik pribadi istri.

Advokat Ponorogo menjelaskan bahwa hal ini sejalan dengan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa harta yang diperoleh suami atau istri melalui hibah atau warisan tidak termasuk harta bersama, selama tidak diatur lain dalam perjanjian perkawinan.

Tinjauan Menurut Hukum Islam

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), hibah memiliki makna yang mirip dengan yang diatur dalam KUH Perdata. Menurut Pasal 171 huruf g KHI, hibah adalah pemberian sukarela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Pengacara Ponorogo juga menambahkan bahwa Pasal 212 KHI menegaskan, hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali jika hibah tersebut diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Artinya, bila suami telah menghibahkan rumah kepada istrinya, maka rumah itu tetap menjadi hak istri sepenuhnya, bahkan setelah terjadi perceraian.

Namun, hukum Islam membatasi jumlah hibah. Berdasarkan Pasal 210 ayat (1) KHI, seseorang hanya boleh menghibahkan maksimal sepertiga (1/3) dari total hartanya tanpa persetujuan ahli waris. Jika hibah melebihi batas tersebut, ahli waris dapat mengajukan pembatalan hibah di pengadilan agama.

Kesimpulan dari Panji Pengacara Ponorogo

Dari sisi hukum positif maupun hukum Islam, status rumah hibah sangat tergantung pada dua hal utama:

  1. Apakah hibah dibuat secara resmi dengan akta notaris?
    • Jika ya, maka rumah sah menjadi milik istri dan tidak bisa diklaim kembali oleh suami.
  2. Apakah nilai rumah melebihi 1/3 dari total harta suami saat hibah diberikan?
    • Jika tidak melebihi, maka hibah sah dan tetap berlaku meskipun terjadi perceraian.

Jadi, apabila rumah tersebut dihibahkan melalui akta notaris dan nilainya masih dalam batas yang diperbolehkan, maka rumah itu bukan bagian dari harta bersama dan tidak dapat ditarik kembali oleh suami.

Untuk memastikan kekuatan hukum dokumen hibah dan nilai aset yang dihibahkan, Anda disarankan berkonsultasi langsung dengan advokat Ponorogo atau pengacara Ponorogo yang berpengalaman menangani perkara keluarga, seperti Panji Pengacara Ponorogo.